Selasa, 14 Februari 2012

”Nomor Sepatu” Sulit Terpilih



29 November 2011

JAKARTA - Calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki peringkat di luar empat besar dinilai sulit terpilih. Pasalnya, pemeringkatan yang dilakukan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK menjadi pegangan bagi fraksi-fraksi di DPR dalam uji kepatutan dan kelayakan.
Menurut anggota Komisi III DPR, Ahmad Basara, satu-satunya peluang bagi capim dengan ranking ”nomor sepatu” untuk terpilih hanyalah jika terdapat kekuatan-kekuatan lain yang memaksa.
”Kecuali kalau ada buah tangan, tanda tangan, campur tangan, dan tepuk tangan. Tanpa ada invisible power, mustahil bisa terpilih,” ujar Basara di sela-sela fit and proper test di gedung DPR, Senin (28/11).
Tes hari pertama itu diikuti dua dari delapan kandidat yang diajukan pansel, Abraham Samad dan Aryanto Sutadi. Menurut Basara, pemeringkatan oleh pansel berdasarkan proses seleksi yang mempertimbangkan berbagai aspek. Termasuk kepemimpinan, integritas, dan independensi dari calon.
Dengan demikian, Aryanto yang menempati urutan kedelapan calon yang paling tidak direkomendasikan untuk dipilih sebagai pimpinan KPK.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan, Basara pun bertanya mengenai campur tangan yang dipersiapkan Aryanto agar nanti bisa terpilih.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Aryanto yang pernah menjabat Direktur IV Narkoba dan Terorganisir Polri itu menampiknya. Menurut deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini, peringkat terakhir itu hanyalah hasil penilaian pansel.
 “Saya tidak nilai saya ini bodoh. Saya serahkan kepada Bapak, apa saya pantas atau tidak dipilih,” kata Aryanto.
Berbeda dengan Abraham hanya ditanyai mengenai visi-misi jika terpilih, Aryanto lebih banyak dicecar pertanyaan mengenai rekam jejaknya. Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Indra, menanyakan jumlah harta kekayaan sebenarnya dari Aryanto. “Berapa jumlah kekayaan Saudara sebenarnya? Karena di LHKPN bilang Rp 4 miliar, tapi berdasarkan penelusuran Rp 8 miliar,” tutur Indra.
Berdasarkan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) terakhir, kekayaan Aryanto Rp 4,4 miliar. Namun, terdapat temuan yang menyebut kekayaannya mencapai Rp 8,5 miliar. Aryanto menolak menjawab pertanyaan Indra dengan beralasan fit and proper test bukan forum yang tepat.
Rekening Gendut
Komisi III DPR juga mempertanyakan pernyataan Aryanto yang menganggap wajar keberadaan rekening gendut perwira tinggi Polri. Menurut Aryanto, kewajaran itu karena mereka mungkin telah bekerja puluhan tahun atau memiliki bisnis lain di luar penghasilan sebagai polisi.
Untuk menghilangkan kecurigaan, Aryanto menyatakan pemilik rekening tinggal diklarifikasi. “Diklarifikasi saja dapat dari mana. Tanya ahli, apa itu masuk korupsi atau tidak,” jelas dia.
Purnawirawan bintang dua polisi itu juga dicecar terkait pengakuan bahwa dia kerap menerima sesuatu yang dikategorikan sebagai gratifikasi. Aryanto berkilah kejadian itu berlangsung di masa lalu saat gratifikasi belum ada aturannya.
Kasus tanah di Sulawesi Selatan dan Bali tak luput menjadi materi pertanyaan untuk pria kelahiran Gombong, Jateng, ini.
Kandidat lain, Abraham, menyatakan bahwa KPK membutuhkan prioritas menangani korupsi kelas kakap. Prioritas itu demi memaksimalkan peran komisi antikorupsi di tengah keterbatasan infrastruktur.
Penanganan kasus korupsi dengan jumlah kecil diberikan kepada kepolisian dan kejaksaan. “Kalau masuk yang kecil-kecil, habiskan waktu, dan kita ambil peran dari teman-teman kepolisian-kejaksaan. Harus ada pembagian tugas,” papar advokat asal Makassar tersebut.
Apabila terpilih sebagai pimpinan KPK, Abraham menyatakan siap mundur jika tak mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi.
“Setahun kalau tidak bisa berbuat apa-apa, mundur. Saya mundur dengan sendirinya,” tandas peraih gelar doktor hukum dari Universitas Hasanuddin ini.
Abraham juga menyatakan tak takut memberantas korupsi kelas kakap. Termasuk jika korupsi itu terjadi di lingkungan penegak hukum. Kandidat termuda itu juga mengkritik gaya pimpinan KPK dalam memberantas korupsi.
Dia berkeyakinan pimpinan lembaga antirasuah tak boleh terlalu sering tampil di televisi untuk mempopulerkan diri. Pasalnya, sikap itu justru berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi.
“Itu orang yang akan bermain sinetron kalau begitu. Karena kalau sudah katakan pekan depan ada orang yang akan menjadi tersangka, dia bisa lari dan menghilangkan alat-alat bukti. Pimpinan KPK tidak perlu populer, tapi tindakannya yang populer,” jelas Abraham.
Uji kelayakan dan kepatutan capim KPK akan berlanjut hari ini. Berdasarkan jadwal, kandidat yang diuji adalah Abdullah Hehamahua dan Handoyo Sudrajat. (J22,H28-65)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar